Sisi Gelap Mahasiswa* (Bagian 2)

Dari bagian 1

Baik kita lanjut ke bagaimana kehidupan sosial mahasiswa saat ini. Sebelumnya sudah saya singgung, gaya hidup saat ini ditentukan dari seberapa cepat orang tersebut mendapatkan informasi atau paling tidak eksis pada salah satu media (pendapat pribadi). Seringkali berbagai media teknologi menjadi penentu keberhasilan suatu usaha manusia, tapi tak sering teknologi tersebut disalah gunakan. Bagaimana dengan mahasiswa* yang ada di tempat saya? Secara umum bisa saya rangkum “cukup sosialis”. Dalam artian ini, mahasiswa* lebih peduli dengan sesama, tak peduli beda status (pangkat, harta, pintar, single/ sudah berpasangan). Mungkin pameo yang cocok untuk disampaikan adalah “One for all, all for one”. Lebih ditekankan pada bagaimana bisa berbagi dengan teman-teman sejawat.

Tak jauh berbeda dengan orang pada umumnya, sebagian kecil memiliki kebiasaan akan mengeluarkan uang untuk beli rokok per harinya atau untuk membeli gadget atau untuk membeli baju (mungkin menyediakan 1 bulan 1 baju baru). Sepemahaman saya dan yang selama saya alami, kehidupan mahasiswa* cukup menunjukkan bagaimana nantinya bermasyarakat. Tak sedikit yang aktif sebagai aktifis di berbagai kegiatan kemahasiswaan atau mungkin di beberapa organisasi eksternal kampus. Tak sedikit pula yang sudah memulai kehidupan mahasiswa sebagai penyumbang peningkatan pendidikan di negara ini (baca: tutor/ privat/ bimbingan belajar).

Di kesehariannya, latar belakang keluarga menentukan bagaimana mahasiswa* tersebut bersosialisasi. Di tempat saya, berbagai latar belakang dan budaya berkumpul menjadi satu. Yang membuat saya terkagum adalah sangat cepatnya mereka dengan budaya tempat kampus mereka. Namun demikian, keadaan sosial (tenggang rasa) lebih terjadi di dalam tembok kampus. Lantas bagaimana kehidupan sosial atau mungkin pengabdian pada masyarakat sekitar kampus? Saat menulis pertanyaan ini, sebenarnya saya juga merasa sangat malu karena disaat yang sama saya juga berkontribusi lebih pada lingkungan sekitar kampus. Coba kita tilik sebentar. Lokasi kampus yang dekat dengan perumahan baik perumahan biasa hingga perumahan yang luar biasa dan sungai yang agak tidak terurus. Setiap berjalan ke kampus terasa bahwa saya juga menjadi salah satu penyumbang kerusakan lingkungan tempat saya menimba ilmu. Tak kurang kehidupan masyarakat sekitar pun lebih pada keadaan yang bisa saya sebut “tidak lebih baik dari daerah asal saya”. Seharusnya nilai sosial yang seperti apa yang harus dilakukan mahasiswa* saat ini? Pertanyaan besar yang tak bisa dijawab hanya melalui tulisan, lebih tepatnya kita perlu tindakan nyata!

Pada tingkat internasional, Indonesia sudah dikenal menghasilkan bibit-bibit muda yang unggul dan bermutu. Dalam kompetisi internasional, pemuda-pemudi kita telah menorehkan tinta emas bagi nama negara. Bagaimana dengan mahasiswa* saat ini?

Sebenarnya, mahasiswa Indonesia memiliki kemampuan akademik yang luar biasa bagus walau keadaan ekonomi kurang. Hanya saja yang membuat banyak kecaman dari para orang-orang di desa, kenapa “mereka” yang memiliki kemampuan lebih baik akademik maupun non akademik serasa tidak “dihidupi” oleh negara. Coba kita bayangkan jika mahasiswa* dan rakyat Indonesia pada umumnya dengan kompetensi yang bagus bersama-sama membangun bangsa, bukankah tidak mungkin Indonesia melewati negara-negara lain? Rumor yang banyak saya dengar, mereka yang “pintar” telah dibeli negara lain sehingga di dalam negeri kekurangan stok orang “pintar”. Akibatnya, pembangunan negara hanya disokong orang-orang “tua” yang lebih pada kehidupan politis praktis. Realisasinya? Tentu tidak terlalu banyak yang dapat dirasakan rakyat.

Pernah saya mengandai-andai, bagaimana jika semua siswa dan mahasiswa benar-benar dihidupi negara untuk menuntut ilmu hingga ke luar negeri kemudian ditarik kembali setelah menyelesaikan studinya? Pemikiran ini terinspirasi cerita guru saya yang waktu itu menceritakan tentang bom atom di Hiroshima dan Nagasaki. Setalah terjadi ledakan bom tersebut, negara langsung menginstruksikan untuk menyelamatkan para guru supaya tidak terjadi kehilangan generasi di kemudian harinya. Selain itu juga terinspirasi dari berita yang menyebutkan kalau banyak ilmuwan Cina yang tersebar di negara-negara maju mulai ditarik kembali ke negara asalnya hanya untuk mengisi pendidikan di negaranya. Bukankah itu pengorbanan dan taktik yang jitu bagi negara jika ingin maju?

Hmm, saya sendiri masih belum begitu bisa membayangkan seandainya semua mahasiswa Indonesia tidak memiliki kompetensi yang tidak dapat diandalkan demi kemajuan bangsa. Ah, saya tidak ingin mengandai terlalu tinggi. Paling tidak, kehidupan sosial dan kompetensi mahasiswa* sangat diperlukan bagi negara ini. Berikut contoh mereka* yang dapat menunjukkan kompetensinya sebagai mahasiswa. Sebelumnya maaf, jika yang ditampilkan hasil dari perlombaan akademik yang di program studi saya.

2 thoughts on “Sisi Gelap Mahasiswa* (Bagian 2)

Leave a comment